Sejarah Uwais Al Qarni

Si Maniz 4:59:00 AM
Sejarah Uwais Al Qarni. Kisah orang-orang pilihan hendaknya patut diambil faedah dan pelajaran. Terutama mereka yang memiliki amalan mulia bakti pada orang tua sehingga banyak orang yang meminta doa kebaikan melalui perantaranya. Apalagi yang menyuruh orang-orang meminta doa ampunan darinya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah disampaikan oleh beliau jauh-jauh hari.

Sejarah Uwais Al Qarni



Kisahnya adalah berawal dari pertemuaannya dengan ‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dari Usair bin Jabir, ia berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.”

Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?”

Uwais menjawab, “Iya.”

Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”

Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah.

Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.

Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?”

Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”

Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka pergi berhaji dan ia bertemu ‘Umar. Umar pun bertanya tentang Uwais. Orang yang terhormat tersebut menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya sedikit.” Umar pun mengatakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”

Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah ampunan pada Allah untukku.”

Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji), mintalah ampunan pada Allah untukku.”

Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.”

Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.

“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)

Akhlak Muslim, Kewajiban Menghormati Tetangga

Si Maniz 6:28:00 AM
Akhlak Muslim, Kewajiban Menghormati Tetangga. Sudahkah kita mencintai tetangga seperti mencintai diri kita sendiri? Jika belum, berarti belum sempurna iman kita, sebagaimana sabda Nabi SAW di atas. Tetangga kita apa dan bagaimanapun “rasanya”, Rasulullah SAW sebagai teladan, mengajarkan kita untuk selalu berbuat baik kepada tetangga, mencintai mereka sebagaimana mencintai diri kita sendiri. Dari Anas ra, Rasulullah saw bersabda, ”Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak dikatakan beriman seorang hamba hingga ia mencintai saudaranya (tetangganya) seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR Muslim).

Manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup sendiri dan pasti selalu membutuhkan orang lain dalam setiap aktivitasnya. Apalagi dalam hidup bermasyarakat. Bagi seorang perantau, ada orang yang kedudukannya lebih dekat daripada keluarga, yaitu tetangga. Hidup bertetangga itu seperti jargon sebuah produk, rame rasanya. Ada manis, asam dan asin. Ada tetangga yang baik dan ramah, ada tetangga yang suka menggunjing orang lain, ada tetangga yang tipenya komentator, semua dia komentari. Ada juga yang cuek, sampai tidak peduli ketika tetangga sebelah sakit gigi, dia asik karaokean dengan volume cetar.

Faktanya, banyak sekali kehidupan bermasyarakat yang tidak sesuai dengan sunah Rasul SAW, terlebih di daerah perkotaan. Bagaimana bisa mencintai mereka, sedangkan betegur sapa saja sangat jarang. Sudah bukan rahasia lagi jika adab-adab bertetangga sudah mulai ditinggalkan di era yang serba modern seperti sekarang ini.

Allah berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (Q.S An-Nisaa : 36). Menurut Islam, ada hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat. Rasulullah SAW bahkan sempat mengira bahwa tetangga akan menjadi salah satu ahli waris, saking banyaknya perintah Allah untuk memuliakan tetangga.

Akhlak Muslim, Kewajiban Menghormati Tetangga

Bagaimana agar kita bisa menjadi muslim yang bisa mencintai tetangganya sebagaimana mencintai diri sendiri? Sesungguhnya dalam diri Rasulullah SAW terdapat teladan yang baik. Akhlak Rasulullah adalah Al Qur’an. Sebagai seorang muslim, tidak ada contoh sempurna kecuali beliau. Maka dari itu, untuk menumbuhkan rasa cinta kasih di antara tetangga, hal yang perlu kita lakukan adalah saling memuliakan.

Dari Muadz bin Jabal, mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah apa hak tetangga atas tetangga?” Rasulullah SAW menjawab, “Jika dia berhutang kepadamu, hendaklah kau utangi. Jika meminta bantuan, hendaklah kau bantu. Jika sakit hedaklah kau jenguk. Jika membutuhkan, hendaklah kau beri. Jika miskin, hendaklah kau bantu. Jika ia mendapat kebaikan hendaklah kau beri selamat. Jika ia terkena musibah, hendaklah engkau berbelasungkawa. Jika ia meninggal, hendaklah engkau mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Janganlah meninggikan bangunan di atas bangunannya hingga menghalagi angin darinya, kecuali atas seiizinnya. Jangan mengganggunya dengan aroma masakanmu, kecuali engkau memberinya. Jika engkau membeli buah, maka hadiahilah dia, dan jika engkau tidak melakukannya, maka masukanlah secara sembunyi-sembunyi.” Hadits di atas diriwayatkan oleh Ath Thabrani. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan, “Sanad-sanadnya lemah (wâhiyah), tetapi beragamnya jalurnya mengindikasikan hadis tersebut memiliki asal.”

Memuliakan tetangga berarti memenuhi hak mereka. Selain karena ini adalah hal yang diperintahkan Rasulullah SAW, yang insya Allah mendapatkan ganjaran pahala jika dilakukan, juga dapat menumbuhkan cinta kasih di antara keduanya. “Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur, maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu.” (HR Muslim)

Alih-alih memerintahkan sahabatnya untuk membagikan/memperbanyak sayurnya, Rasulullah SAW malah menyuruh menambahkan air yang banyak hingga bisa dibagikan ke tetangga. Selain itu jika ada tetangga yang memberikan makanan yang sedikit, atau hanya kuah, kita dilarang untuk mencela. Memenuhi hak mereka bukan berarti mengabaikan hal diri sendiri. Penuhilah dengan kadar kemampuan yang kita miliki. Jangan memaksakan diri hingga mendzolimi keluarga sendiri. Rasulullah bahkan memberikan solusi bagaimana bisa berbagi dengan keterbatasan.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai wanita-wanita muslimah, seorang tetangga tidak boleh menyepelekan tetngga yang lainnya meskipun mereka memberikan hadiah tulang kambing yang sedikit dagingnya.” (Mutafaq’alaih)

Seburuk-buruknya tetangga, jangan sampai kita lupa untuk memenuhi hak-hak mereka. Teruslah berbuat baik, karena di dalamnya ada perintah Allah SWT dan label orang yang beriman adalah mereka yang bisa memuliakan tetangganya.

Cara Membangun Keluarga Sakinah dalam Agama Islam

Si Maniz 7:44:00 PM
Cara Membangun Keluarga Sakinah dalam Agama Islam. Sesungguhnya pada diri Rasulullah suri teladan yang bagus bagi kalian. Bagaimanakah cara rasul dalam berumah tangga dan berinteraksi dengan keluarga beliau. Dan bagaimana pula para istri Ummahatul Mukminin berinteraksi dengan rasulullah untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Suaru seorang sahabat bertanya kepada Aisyah, Apa yang biasanya dilakukan oleh Rasul di rumah? Aisyah menjawab, Rasulullah biasa melayani atau membantu istrinya dalam pekerjaan rumah dan jika datang waktu shalat beliau pun keluar rumah untuk melaksanakannya. (HR Bukhori).

Setiap manusia sudah diberikan pasangannya masing-masing, setiap pasangan muslim bercita-cita untuk membangun keluarga yang sakinah. Dan setiap ada teman, kerabat, sahabat dan keluarga yang menikah kebanyakan doa yang diberikan adalah agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah. Ungkapan itu menjadi familiar dan menjadi hal yang umum bagi umat muslim. Ada beberapa orang menyebutkan keluarga yang sakinah itu adalah keluarga yang dibangun dengan hukum-hukum islam atau keluarga yang harmonis dan bahagia atau keluarga yang sama-sama mengingatkan jalan menuju surga.

Cara Membangun Keluarga Sakinah dalam Agama Islam

Suami adalah sebagai kepala keluarga, pemimpin keluarga yang mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. Sementara itu istri memiliki peran penting juga, dimana tugas utamanya adalah sebagai ibu dan sebagai manajemen atau pengatur rumah tangga. Selain itu anak bertugas untuk berbuat baik, patuh, dan taat kepada kedua orang tua selama orang tua masih memberikan perintah atau nasihat yang baik dan benar di jalan Allah. Semoga kita semua bisa mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Dalam bahasa arab sakinah berarti kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan. Jadi arti keluarga sakinah itu menurut defenisi bahasa adalah membangun sebuah keluarga atau rumah tangga yang damai, tentram dan penuh kebahagiaan. Apa itu arti mawaddah: Dalam bahasa mawaddah itu berarti cinta atau suatu harapan. Mawaddah akan terwujud jika sebuah pernikahan yang dibangun dengan cinta antara suami dan istri dalam keadaan susah maupun senang dan mempertahankan cintanya selamanya. Apa itu arti warohmah: Atau (wa rahmah) yaitu kata tunggalnya adalah rahmah. Yang berarti kasih sayang. Kasih sayang yang tulus sangat penting dalam sebuah keluarga untuk mencapai suatu keluarga yang berbahagia. Jika digabungkan arti sakinah mawaddah warohmah dalam suatu keluarga adalah suatu keluarga yang damai, tentram, penuh cinta dan juga kasih sayang.

Untuk mewujudkan keluarga sa-ma-ra (sakinah mawaddah warohmah) itu tentu dibutuhkan sebuah perjuangan yang di bangun dengan sebuah niat, mengikuti aturan al qur’an dan tentunya mengikuti petunjuk dari nabi Muhammad s.a.w. Dimana keluarga impian umat muslim itu adalah keluarga yang hidup saling mencintai, saling mendukung, saling mengasihi dan saling pengertian karena mengharap ridho Allah s.w.t.

Tapi, bagaimanakah konsep keluarga sakinah itu menurut islam yang sebenarnya? Apakah arti dari sakinah, mawaddah, warahmah itu? Bagaimana memilih calon pendamping yang benar? dan apa tujuan dari perkawinan? dan apa saja hak dan kewajiban dari kedua belah pihak? Marilah kita sejenak melihat lebih dekat mengenai keluarga sakinah menurut islam, agar kita mempunyai pemahaman yang kuat dan niat yang jelas tentang keluarga sakinah menurut islam.

Tentunya semua itu berdasarkan syariat islam dalam rangka ibadah kepada Allah s.w.t dengan tujuannya antara lain adalah menjaga kehormatan, melahirkan keturunan dan mempererat silaturahmi secara islami. Jika bermanfaat, mohon like fb page kami ya!! Untuk mewujudkan sebuah keluarga samara, tentunya semua anggota keluarga mempunyai peran-peran penting. Islam telah jelas-jelas memberikan apa saja tugas dan fungsi masing-masing anggota keluarga yang harmonis, diliputi suasana iman, takwa dan bahagia.

Tentunya ada banyak hikmah dan kebahagian yang didapat ketika Allah SWT mensyariatkan pernikahan kepada umatnya, yang disifatkan didalam alqur’an dengan ‘Miitsaaqan Galiidzan’ (tali ikatan yang berat). Dimana pernikahan itu tidaklah hanya sebagai pemenuhan atau penyaluran seksual secara halal namun ada pula tujuan yang lebih agung dari pada itu. Dari sebuah ikatan pernikahan diharapkan juga dapat menciptakan keluarga yang berbibit kan ketenangan dan sakinah, berbuah cinta kasih dan mawaddah, dieratkan pula dengan kasih sayang dan rahmah bagi keduanya.

Dalam rumah tangga yang samara dibutuhkan juga untuk saling memahami perasaan pasangan. Sesungguhnya aku tahu jika kamu sedang ridho terhadap ku atau ketika kamu sedang marah kepadaku”, begitu suatu kali Rasulullah menegur Aisyah. “Jika kau ridho terhadap ku, kau akan berkata: “Tidak, demi Tuhan Muhammad”, tetapi jika kau marah, kau berkata, “Tidak, demi Tuhan Ibrahim”. (HR. Muslim).