Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat

Si Maniz 5:50:00 AM
Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat. Didahulukannya kata mati pada firman Allah: “Dia yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapa yang lebih baik amalnya.” (QS al-Mulk: 2), memberi kesan bahwa kematian adalah nikmat, karena dengannya manusia meraih hidup. Manusia, zat yang terbatas dengan kepribadiannya yang tunggal dan tidak bisa digantikan, akan berdiri menghadap Allah, Dzat yang tidak terbatas. Dia menghadap untuk menyaksikan akibat amal-amal yang telah dilakukannya, sekaligus menetapkan sendiri kesudahannya.

Kematian yang merupakan pintu masuk menuju hidup abadi, adalah nikmat. Hal ini diisyaratkan QS. Al-Baqarah: 28: “Bagaimana kamu terus menerus kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati (yakni tidak wujud dan berada di pentas bumi ini) lalu Dia menghidupkan kamu (yakni di permukaan bumi ini), kemudian Dia mematikan kamu (dengan mencabut nyawa kamu sehingga kamu mmeninggalkan pentas bumi ini), kemudian Dia meghidupkan kamu (lagi, yakni di alam Barzah), kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (untuk dinilai amal-amal perbuatan kamu selama di pentas bumi, setelah itu jika penilaian-Nya positif kamu akan mendapatkan kehidupan sempurna, dan bila tidak kamu akan tersiksa di neraka).”

“Tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan baginya (penulisan amal perbuatannya bagaikan tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan untuknya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. Bacalah kitabmu, sekarang cukuplah dirimu sendiri menjadi penghisab (yakni yang melakukan perhitungan) atas dirimu.” (QS. Al-Isra’: 13-14).

Apa pun kesudahan manusia, sama sekali bukan berarti hilangnya kepribadiannya. Al-Qur’an tidak menganggap kebebasan sempurna dari keterbatasan sebagai puncak kebahagiaan manusia. Ia menganggap ganjaran sempurna adalah pada pentahapan penguasaan dirinya, keunikan dan kekuatan kegiatannya dalam kedudukannya sebagai ruh. Sampai-sampai kehancuran alam raya yang mendahului secara langsung pada hari Perhitungan, sama sekali tidak mempengaruhi ketenangan jiwanya yang telah sempurna perkembangannya itu.

Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat

كفى بالموت واعظا
“Cukuplah kematian menjadi nasehat.”

Allah berfirman: “Dan ditiuplah sangkakala sehingga matilah siapa (makhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. az-Zumar: 68). Siapakah yang dikecualikan Allah di sini, kalau bukan mereka yang jiwanya telah mencapai puncak kekuatan serta meraih tingkat tertinggi dari tahap perkembangan. Yakni ketika dia mampu menguasai dirinya dengan penguasaan sempurna di hadirat Allah yang Maha Meliputi dan Menguasai segala sesuatu. Sesungguhnya manusia yang perkembangannya memerlukan jutaan tahun, tidak mungkin sama sekali dilemparkan begitu saja sepesti barang yang tidak berharga.

Menyucikan jiwa dan pemeliharaannya dari keburukan tidak lain kecuali dengan amal saleh. Umur yang paling lemah berarti mencapai usia yang menjadikan hidup tidak berkualitas, dan menjadikan yang bersangkutan tidak merasakan lagi kenikmatan hidup. Bahkan boleh jadi ia jemu, dan orang sekitarnya pun merasa kematian bagi yang bersangkutan lebih baik. Ini berarti kematian adalah nikmat bagi yang bersangkutan, dan bagi siapa yang di sekitarnya.

Beliau menerangkan, seorang mukmin memperoleh ketenangan dari keletihan hidup dan gangguannya guna meraih rahmat Allah, sedang orang durhaka, maka hamba-hamba Allah, negeri, demikian juga pohon dan tumbuh-tumbuhan, selamat dari gangguannya.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Qatadah).

Di sisi lain, berulang kali al-Qur’an menekankan bahwa kehidupan ukhrawi jauh lebih bahagia dan sempurna daripada kehidupan duniawi. Dan tidak ada jalan menuju kebahagiaan itu, kecuali melalui kematian.

Kematian, walau kelihatannya seperti kepunahan, pada hakikatnya kelahiran kedua. Ia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur. Anak-anak ayam yang terkurung dalam telur tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya, kecuali jika kulit telur — tempat tinggalnya– menetas dan ia berhasil meninggalkannya. Agaknya itulah salah satu sebab mengapa kematian dinamai oleh al-Qur’an ‘wafat’, yang secara harfiah berarti kesempurnaan atau penahanan, yakni jalan untuk meraih kesempurnaan hidup.

Kematian juga akibat penahanan Allah terhadap nafs, sehingga tidak dapat kembali lagi ke tubuh tempatnya semula. Konon, ketika malaikat maut datang mencabut ruh Nabi Ibrahim as., yang dikenal dengan nama Khalil Allah (Kekasih Allah), beliau berkata: “Adakah Kekasih mencabut ruh kekasih-Nya?”

Malaikat itu diilhami Allah menjawab: “Adakah Kekasih enggan menemui kekasihNya?” Nabi Ibrahim as. dengan senang hati dicabut ruhnya. Walau pun riwayat ini tidak dapat dinilai shahih, paling tidak ini mengisyaratkan betapa kematian dapat menjadi nikmat besar bagi yang mati.

Akhirnya, kalaupun kematian merenggut dari manusia sesuatu, yang jelas tidak semua yang ada pada manusia mampu direnggutnya. Memang badannya binasa, dunia tempat tinggalnya, serta keluarga dan handai taulannya ditinggalkan. Tetapi nafs atau ruhnya, masih tetap ada. Kepribadiannya sebagai manusia tetap utuh, dan ini jauh lebih berharga dari jasmaninya.

Di sisi lain, apa yang ditinggalkan, baik sanak keluarga, handai taulan, kediaman dan harta benda, semua dapat diperoleh gantinya di alam sana. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad mengajarkan doa untuk yang wafat, antara lain: “Gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dan pasangannya.” (HR. Muslim).

Artikel Terkait

Previous
Next Post »